Hikayat Raja Pasai
Hikayat Raja Pasai
Pendahuluan
Hikayat Raja-Raja Pasai pertama kali diterbitkan oleh seorang Perancis bernama Ed. Dulaurier pada tahun 1849 M dalam Collection Principle Cronique Malayes. Ia menerbitkannya dalam huruf Arab berdasarkan manuskrip yang dibawa oleh Sir Thomas Stanford Raffles ke London yang sampai sekarang masih ada di sana dalam perpustakaan Royal Asiatic Society. Pada tahun 1914 M terbit versi yang dihuruflatinkan oleh J.P. Mead yang juga berasal dari manuskrip London tersebut di atas. Di samping itu, terdapat pula transkripsi Hikayat Raja-Raja Pasai beserta pembicaraannya dalam Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, 1960, yang dikerjakan oleh A.H. Hill. Menurt T. Iskandar, Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya sejarah tertua dari zaman Islam.
Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dua versi. Pertama ialah cerita Pasai yang terdapat dalah naskah Sejarah Melayu, yakni riwayat yang berakhir dengan mangkatnya Sultan Malik al Dzahir dan naiknya tahta kerajaan Sultan Ahmad. Kedua adalah versi Hikayat Raja-Raja Pasai yang diwakili oleh Raffles seperti tersebut di atas. R.O. Winstedt menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai mempunyai persamaan-persamaan, baik dalam pokok pembicaraan maupun susunan ayatnya. Ia mengatakan, penyusun Sejarah Melayu telah meniru, memparafrasakan dan menyalin Hikayat Raja-Raja Pasai. Winstedt berkesimpulan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai ialah teks yang tertua dari kedua karya itu (Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai). Namun, R. Roolvink menyatakan, tidak mudah untuk menentukan antara kedua teks itu dan mungkin sekali penyusun Sejarah Melayu telah menggunakan teks Hikayat Raja-Raja Pasai yang lain, sehingga terjadi perbedaan penting antara kedua teks itu dari segi nama dan detail-detail lainnya.
Menurut A. Teeuw bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai berdasarkan internal evidence tidak mungkin dikarang sebelum Sejarah Melayu, tetapi sebaliknya. Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis berdasarkan suatu versi asal Sejarah Melayu untuk kemegahan kerajaan Pasai dengan berbagai tambahan dan perubahan. Namun, Amin Sweeney menentang pendapat itu dan berdasarkan internal evidence pula menyatakan dengan sangat meyakinkan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang digunakan oleh pengarang bagian pertama Sejarah Melayu.
Ikhtisar
Isi naskah Hikayat Raja-Raja Pasai menyangkut sejarah negeri Pasai sekitar pertengahan abad ke-13, masa pengislaman Tanah Pasai hingga pertengahan abad ke-14, dan waktu penaklukan Pasai oleh Majapahit. Secara lebih rinci isi Hikayat Raja-Raja Pasai dapat dibagi menjadi enam bagian, meskipun dalam manuskrip tersebut tidak ada pembagian ini. Lima bagian pertama adalah cerita mengenai Samudra Pasai, sedangkan yang keenam sama sekali tidak menyinggunga Pasai, tetapi mengenai penaklukan Nusantara oleh Patih Gajah Mada atas perintah Sang Nata Majapahit. Dalam bagian terakhir itu juga dibicarakan penaklukan sebagian pulau Perca, yakni Minangkabau, yang tidak dilakukan dengan peperangan tetapi dengan adu kerbau. Tentara Jawa kalah dalam penaklukan itu. Naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang mula-mula besar kemungkinannya tidak mengandung bagian yang keenam itu. Apabila itu benar, maka bagian yang keenam itu adalah tambahan yang kemudian, mungkin ditulis oleh pengarang lain dan ditambahkannya kepada naskah Hikayat Raja-Raja Pasai.
Hikayat Raja-Raja Pasai dimulai dengan dua kisah bersaudara Raja Muhammad dan Raja Ahmad yang sedang membangun sebuah negeri di Samalanga. Ketika menebas hutan, Raja Muhammad menemukan seorang anak perempuan muncul dari pokok bambu. Anak itu diberi nama Puteri Betung. Raja Ahmad mendapat seorang anak laki-laki yang dibawa oleh seekor gajah, anak itu diberi nama Meurah Gajah. Setelah dewasa keduanya dinikahkan, dan pasangan ini mempunyai dua orang putra, yaitu Meurah Silu dan Meurah Hasum. Pada suatu hari Meurah Gajah melihat sehelai rambut Putri Beutung berwarna emas. Dia minta agar rambut itu dicabut. Istrinya menolak dan mengingatkan, apabila rambut itu dicabut akan terjadi perceraian di antara mereka. Namun, Meurah Gajah memaksa mencabutnya, sehingga keluar darah putih dari kepala Putri Betung dan matilah ia. Karena peristiwa itu, terjadilah peperangan antara Raja Muhammad dan Raja Ahmad. Banyak prajurit dari kedua belah pihak tewas, dan akhirnya kedua raja itu pun menemukan ajalnya dalam peperangan itu.
Setelah perang selesai, Meurah Silu dan Meurah Hasum sepakat meninggalkan Samalanga untuk membuka negeri lain. Mereka berjalan sampai ke Beurana (Bireuen). Di hulu sungai, Meurah Silu menemukan cacing gelang-gelang yang kemudian berubah menjadi emas dan perak. Dengan emas itu ia mengupah orang menangkap kerbau liar untuk dijinakkan. Pekerjaan itu tidak disukai oleh Meurah Hasum. Diusirlah Meurah Silu. Setelah berjalan jauh, Meurah Silu tiba di Bukit Talang, ibu kota sebuah kerajaan yang diperintah oleh Meugat Iskandar.
Di ibu kota itu Meurah Silu diperkenankan tinggal. Ia memperkenalkan adu ayam jago. Atraksi itu menarik perhatian banyak orang dari negeri lain hingga mereka berdatangan ke Bukit Talang.
Meugat Iskandar sangat menyukai Meurah Silu. Dia bermusyawarah dengan orang-orang besar dan sepakat menobatkan Meurah Silu menjadi raja mereka. Saudara Meugat Iskandar, Malik al Nasr, tidak setuju. Terjadi peperangan di antara keduanya. Malik al Nasr kalah.
Tidak lama kemudian, Meurah Silu membuka negeri di atas tanah tinggi, diberi nama Samudra, mengikut nama semut besar yang dijumpainya di situ. Dikisahkan pula bahwa menjelang wafat, Nabi Muhammad mewartakan kepada para sahabatnya bahwa di benua bawah angin kelak akan muncul sebuah negeri bernama Samudra.
Ketika Samudra telah berdiri, segera berita itu terdengar ke Mekah. Syarif Mekah memerintah Syekh Ismail, seorang ulama dan sufi terkemuka, agar berlayar ke Samudra bersama 70 pengikutnya untuk mengislamkan raja Samudra. Dalam pelayaran ke Samudra mereka singgah di Mangiri, yang sultannya keturunan Abubakar Siddiq, sedangkan Abu Bakar telah turun tahta menjadi sufi. Abu Bakar Siddiq lalu ikut berlayar ke Samudra bersama Syekh Ismail.
Sebelum kapal Syehk Ismail berlabuh di Samudra, Meurah Silu bermimpi berjumpa Nabi Muhammad dan mengajarinya mengucapkan syahadat dan tata cara salat. Setelah diislamkan, Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik al Saleh, mirip dengan nama Sultan Saljug yang masyhur merebut Anatolia, Turki, dari kaisar Byzantium pada abad ke-12 M, yaitu Malik Syah. Setelah itu seluruh rakyat Samudra berbondong-bondong memeluk agama Islam. Setelah itu Malik al Saleh membuka negeri baru, sebuah kota yang strategis, sebagai pelabuhan dagang di Selat Malaka, diberi nama Pasai mengikuti nama anjing kesayangannya yang berhasil menangkap seekor pelanduk ketika negeri baru itu mulai dibuka.
Tidak lama setelah itu, Malik al Saleh mengawini putri sultan Peurlak bernama Putri Ganggang. Dari perkawinan itu lahir seorang laki-laki, Malik al Zahir. Sultan Malik al Saleh wafat pada 1297 M. Pada batu nisan makamnya dipahatkan syair yang indah dalam bahasa Arab karangan Ali bin Abi Thalib.
Tampuk pemerintahan berpindah ke Malik al Zahir. Pada masa pemerintahan Malik al Zahir inilah Ibn Batutah, musafir Arab dari Tangier dua kali mngunjungi Pasai dalam lawatannya menuju Cina, 1316 M. Selain mencatat raja di kerajaan yang disinggahi itu alim dan bijaksana, ia pun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama bermazhab Syafi’i dari negeri Arab serta cendekiawan Persia berdatangan dan tinggal lama untuk mengajar di negeri tersebut.
Malik al Zahir digantikan kedua putranya: Malik al Mahmud yang memarintah Samudra, dan Malik al Mansur yang memerintah Pasai. Di bawah pemerintahan mereka, Pasai bertambah makmur dan maju. Raja Siam yang mendengar berita itu merasa iri dan marah. Lantas ia membawa tentara lautnya menyerbu Pasai. Karena ketangguhan angkatan laut Pasai, tentara Siam dikalahkan dan dihalau dari perairan Selat Malaka tanpa pernah kembali lagi untuk menyerang Pasai.
Setelah penyerangan Siam itu terjadilah serangkaian peristiwa yang mencoreng nama baik kerajaan tersebut dan menyebabkan kejatuhannya. Hal itu bersumber dari ulah penguasa Samudra Pasai sendiri.
Pada suatu hari, adik Sultan Malik al Mansur bertamasya dan melalui depan istana abangnya. Ketika itu Sultan Malik al Mahmud sedang berpergian ke pantai. Sebenarnya, mentrinya telah berupaya mencegah Sultan Malik al Mahmud agar tidak ke pantai, karena mentri itu tahu bahwa adik sultan akan melalui depan istana dalam perjalanan tamasyanya. Mentri itu memperoleh firasat akan terjadi peristiwa yang bisa mendatangkan fitnah.
Ketika Sultan Malik al Mansur melewati jalan di depan istana abangnya, seorang perempuan cantik mucul dari istana. Malik al Mansur terpikat pada wanita itu dan sangat birahi. Lantas dengan paksa perempuan itu dibawanya pulang ke istananya. Mendengar berita itu Malik al Mahmud murka dan mencari jalan bagaimana bisa membalas dendam. Suatu hari ia undang sang adik mengahdiri sebuah pesta. Dalam pesta itu Malik al Mansur dibekuk, dan dipenjarakan ke tempat terpencil. Mentri yang mendampingi Malik al Mansur dipenggal kepalanya.
Tidak berapa lama, sultan Malik al Mahmud pun sadar bahwa perbuatannya keliru. Dia lantas menyuruh Tun Perpatih Tulus Agung menjemput Malik al Mansur pulang. Di tengah perjalanan, setelah berziarah ke makam mentrinya yang dihukum mati oleh kakaknya, Malik al Mansur jatuh sakit dan menghembuskan nafas penghabisan di situ juga.
Setelah Sultan Malik al Mahmud wafat, tahta kerajaan jatuh ke tangan putranya, Sultan Ahmad Permadala Permala. Sultan ini sangat menyukai perempuan dan mengawini wanita kapan saja di mau. Dia dikarunia 30 anak. Lima di antaranya seibu dan sebapa, yaitu Tun Berahim Bapa, Tun Abdul Jalil, Tun Abdul Fadhil, Tun Medan Peria, dan Tun Takiah Dara. Tun Berahim Bapa terkenal karena keperwiraannya dan ketangkasannya di medan perang. Tun Abdul Fadhil sangat alim dan gemar mempelajari ilmu agama. Tun Abdul Jalil seperti ayahnya. Dua adik mereka, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara, sangat cantik. Sultan Ahmad sangat birahi kepada dua putrinya itu dan memberi tahukan niatnya akan mengawini dua putri kandungnya tersebut.
Tun Berahim Bapa mendengar berita itu. Segera ia bawa lari kedua adiknya ke Tukas. Sultan Ahmad murka. Berbagai cara dilakukan sultan untuk membunuh putra sulungnya itu, namun selalu gagal. Sultan bertambah murka setelah mengetahui bahwa putranya itu berseda gurau dengan seorang dayang cantik bernama Fatimah Lampau. Pada suatu kesempatan Sultan Ahmad mengajak Tun Berahim Bapa bertamasya dan memberi makanan yang beracun. Karena tidak mau durhaka kepada ayahnya, Tun Berahim Bapa memakan juga makanan itu walaupun tahu dua adik perempuannya yang dia bawa lari mati karena makan racun. Dia pun mati, jenazahnya dimakamkan di Bukit Fadhillah.
Kezaliman Sultan Ahmad tidak berkurang karenanya, dia nekat membunuh Tun Abdul Jalil hanya karena putranya ini dicintai oleh Putri Gemerancang, anak Ratu Majapahit. Ketika Putri Gemerancang tiba di Pasai dan mendengar kematian kekasihnya, dia pun berdoa supaya mati dengan cepat dan kapalnya tenggelam. Terjadilah yang diharapkan itu. Ini menyebabkan raja Majapahit menyerang Pasai. Karena panglima perangnya yang handal, Tun Berahim Bapa, telah tiada, Pasai pun kalah. Dengan penuh penyesalan Sultan Ahmad melarikan diri ke Menduga.
Setelah itu cerita adu kerbau Jawa dan Minangkabau, dan kerbau raja Majapahit kalah melawan kerbau Patih Ketamanggungan dari Minangkabau, uraian diakhiri dengan daftar negeri-negeri Melayu yang ditaklukan oleh Majapahit.
Perkiraan Waktu
Pada umumnya naskah lama tulisan tangan yang sampai kepada kita bukanlah naskah induk, melainkan naskah salinan. Naskah-naskah itu lazim tidak mencantumkan, baik nama pengarang aslinya maupun tahun penyusunannya. Untuk memperkirakan masa penyusunan sebuah naskah, peneliti naskah lama pada umumnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Cap kertas,
Pada kertas yang digunakan penulis atau penyalin naskah sering terdapat semacam gambaran yang membayang, yang disebut cap kertas. Misalnya, kertas berukuran folio yang capnya menggambarkan seekor singa yang beridiri di atas sebuah kotak yang bertulisan VRYHEID, menurut Churchill bahwa kertas yang seperti itu dibuat pada tahun 1785 M. Perkiraan seperti itu dapat dilakukan terhadap naskah yang menggunakan kertas. Naskah-naskah lontar atau yang menggunakan alas tulis yang lain tidak dapat diperlakukan demikian. Lagi pula, yang dapat diperkirakan hanya batas awal penulisan, bukan titik waktu yang tertentu.
2. Peristiwa sejarah
Sering terjadi bahwa seorang tokoh sejarah atau sebuah peristiwa sejarah disebut-sebut dalam suatu naskah. Dengan demikian, penyebutan waktu hadirnya tokoh itu atau terjadinya peristiwanya tidak sesuai benar dengan rekaman sejarah yang objektif, tetapi tokoh atau peristiwa itu baru dapat disebut-sebut setelah ada atau terjadi. Itu berarti bahwa naskah tersebut pasti disusun setelah tokoh atau peristiwa itu muncul dalam sejarah, tidak mungkin sebelumnya, sehingga ada batas awal.
3. Ejaan
Ejaan juga dapat digunakan sebagai batasan penentu masa penyusunan atau penyalinan sebuah naskah. Naskah-naskah berbahasa Melayu dengan bertulisan Jawi dari kurun waktu tertentu, misalnya, mencantumkan tasydid di atas huruf yang mengikuti suku kata berbunyi e pepet, misalnya, berrindu. Piniadaan konsonan dasar menghasilkan bentuk-bentuk, seperti menengar, juga merupakan gejala ejaan yang menandai kurun waktu tertentu.
4. Pada bagian naskah salinanan ada penambahan kolofon yang memuat nama penyalin dan tempat serta tanggal penyalinan diselesaikan. Apabila dalam kolofon tanggal itu ditulis secara lengkap sampai dengan angka tahunnya, lazimnya digunakan tarikh Hijriah.
Pada sebagian naskah memang ada dicantumkan tanggal yang lengkap, para pembaca tidak segera terbayang masanya karena dewasa ini orang tidak lagi terbiasa menggunakan tarikh Hijriah dalam perhitungan waktu. Oleh karena itu, angka tahun Hijriah oleh para peneliti naskah lama dikonversikan menjadi angka tahun Masehi. Namun, ada juga yang sekaligus mencantumkan tanggal menurut perhitungan tarikh Hijriah dan Masehi.
Kapan Hiakayat Raja-Raja Pasai itu ditulis ? Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan sejak awalnya kerajaan Samudra Pasai dengan rajanya Malikul Saleh, dan hingga berakhirnya kerajaan Pasai di bawah pemerintahan Raja Ahmad yang porak-poranda diserang oleh laskar Majapahit. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang pertama dikarang, sekurang-kurangnya segera setelah Pasai ditaklukan oleh Majapahit, karena hikayat ini tidak lagi menceritakan tentang Raja-Raja Pasai setelah kalah diserang oleh Majapahit. Kapan Majapahit menaklukan Pasai ? Hikayat Raja-Raja Pasai sama sekali tidak menyebutkan angka tahun, kecuali cerita penyerangan Majapahit ke Pasai. Pada akhirnya naskah terdapat kalimat sebagai berikut: bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu Majapahit pada zaman pecahnya negeri Pasai, ratunya bernama Ahmad”.
Dalam kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365, Samudra termasuk daerah-daerah yang ditaklukan oleh Majapahit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penaklukan Pasai oleh Majapahit terjadi sebelum tahun 1365. Namun, G.E. Marrison berpendapat bahwa invansi Majapahit ke Pasai terjadi pada tahun 1377, lebih lambat dari waktu ditulisnya kitab Negarakertagama. Seandainya pendapat Marrison benar, tentu nama-nama Samudra tidak terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang takluk kepada Majapahit di dalam Negarakertagama tahun 1365. Namun, Sir Richard mengatakan bahwa sangat mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis pada abad ke-15, antara tahun 1350 dan 1500.
Manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat di London, satu-satunya manuskrip yang ada, yaitu berupa salinan dari satu naskah kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, salinan itu selesai dikerjakan pada 21 Muharram 1230 H atau 1825 M. Sir Ricard berpendapat bahwa tahun Hijriah yang tertera di sana adalah tahun 1230 H, sehingga menurutnya salinan itu selesai pada tahun 1814 M. Dr. Roolvink membacanya 1235 H dan kemungkinan ini yang lebih tepat, dan tanggal itu sesuai dengan hari Selasa, 9 November 1819. Timbulnya perbedaan tersebut, karena anggka yang terakhir yang tertulis dengan huruf Arab dalam salinan itu dapat diragukan, mungkin dapat dibaca 0 dan mungkin juga 5, hingga menyebabkan timbulnya bacaan yang berbeda.
Kepengarangan
Konsep pengarang dalam sastra lama tidak dapat dipersamakan dengan konsep pengarang dalam sastra modern. Pangarang karya sastra modern jelas orangnya: nama tercantum pada halaman kulit, dan dialah yang memegang hak cipta atas karangannya itu. Tanpa pengetahuan dan izinnya karyanya tidak boleh dikutip dan diperbanyak, apalagi diubah-ubah, walaupun itu semua dilakukan orang dengan maksud mempopulerkannya dan menyempurnakannya. Sebaliknya, pengarang karya sastra lama hanya sedikit yang dikenal.
Pengarang karya sastra lama tidak biasa mencantumkan namanya jelas-jelas pada halaman kulit, pada awal atau akhir kisahnya. Karena yang penting karangan itu sendiri, bukan siapa pengarangnya. Lagi pula, karya itu bukan milik individu pengarangnya, melainkan milik bersama. Individualisme kepengarangan baru dikenal setelah kedatangan orang Barat.
Orang yang bertembungan dengan sebuah karya sastra berhak dan cenderung mengubahnya, mengurangi bagian-bagian tertentu atau menambah episode-episode yang dianggapnya akan menambah kesempurnaan karya tersebut, termasuk mengubah gaya bahasa penyajiannya. Oleh karena itu, yang berlaku sebagai pengarang bukan hanya pengarang aslinya, yang sudah jarang diketahui orang, melainkan juga orang yang membawakannya (tukang cerita) dan para penyalinnya. Meskipun tidak sebagai penggubah langsung, dalam hal ini tidak boleh dilupakan peran khalayak pendengar atau pembaca. Pengubahan karangan tidak jarang disesuaikan dengan selera khalayak pendengan atau pembacanya, baik yang mengenai bentuknya maupun tentang isinya. Demikian pula panjang pendeknya karangan serta urutan peristiwa dalamnya sering ditentukan dengan memperhatikan keinginan pendengar atau pembaca.
Pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai belum dikenal. Dalam hal ini berkata C. Hooykaas: “Amatlah sayang, bahwa hampir semuanya naskah-naskah Melayu itu dalam masa bertahun-tahun amat banyak berubah, dan bahwa kita sedikit sekali tahu tentang nama, kedudukan dan zaman pengarangnya....” Akan tetapi, meskipun nama pengarangnya tidak diketahui, sekurang-kurangnya dengan meneliti isi naskah-naskah tersebut dapat juga diketahui fungsi, tugas, dan zaman pengarang yang dipancarkan oleh pola kebudayaan zaman itu. Oleh karena itu, mengapa Hikayat Raja-Raja Pasai itu dikarang perlu ditinjau latar belakang tempat Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis. Apabila diikuti uraian pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai dapat disimpulkan bahwa pengarangnya adalah termasuk orang dalam kalangan istana Samudra Pasai yang bertugas menyusun kronika dan daftar silsilah mengenai kerajaan itu. Pada saat itu tujuan pengarang adalah memancarkan cahaya yang diinginkan keluarga raja. Dengan uraian penulis yang memberikan tempat sakral kepada Sultan Malik al Saleh, pendiri Kerajaan Samudra Pasai, tampak ada kultus raja di samping usaha pengarang melukiskan kebesaran negerinya sebagai negeri pilihan Tuhan.
Pengaruh kebudayaan Islam sangat kentara, tidak saja karena naskah itu banyak mengandung kata-kata Arab, tetapi isinya bertujuan menyebarkan dan memperteguh kepercayaan agama Islam dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, apabila diperhatikan nasihat yang panjang lebar dari Sultan Malik as Saleh dan Sultan Malik al Mahmud sebelum kedua baginda mangkat, sangat mungkin pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai bermaksud hendak memberikan sifat pragmatis dari hikayat itu supaya dapat menjadi tauladan bagi raja-raja yang berikutnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Sultan Malik al Mahmud pada suatu hari sadar bahwa ia telah mengirimkan ke pembuangan saudaranya Sultan Malik al Mansur, ia berkata:
“Wah terlalu ahmak bagiku karena perempuan seorang saudaraku kuturunkan dari atas kerajaannya dan mentrinya pun kubunuh”, maka baginda menyesallah lalu ia menangis maka baginda pun bertitah pada seluruh ulubalangnya: “pergilah kamu segera mengambil saudaranya itu karena aku terlalu sekali rindu dendam akan saudaraku”.
Karya Sastra dalam Pandangan Ilmu Sejarah
Dalam kesusastraan Indonesia Lama terdapat sejumlah naskah yang oleh Winstedt dikategorikan ke dalam Malay Histories, misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Silsilah Melayu, dan Bugis. Istilah Malay Histories masih dipermasalahkan, terutama oleh kalangan sejarawan, walaupun karya-karya sastra tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang namanya sangat dikenal dalam sejarah. Namun, belum memenuhi persyaratan untuk menjadi karya sejarah, seperti ketepatan waktu, kronologis, dan kebenaran faktual tidak diperhatikan. Dalam karya sastra tersebut banyak sisipan mitos, dongeng, legenda, menyebabkan sejarawan menghadapi kesulitan untuk menemukan fakta kesejarahannya, sehingga tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai sumber sejarah.
Karya-karya kesusastraan tersebut memang tidak sepenuhnya dimaksudkan sebagai rekaman sejarah untuk dijadikan acuan penyusunan sejarah yang kritis. Karya-karya tersebut lebih tepat disebut sebagai karya sastra sejarah atau karya sastra yang bertema sejarah. Ada beragam prosa dengan judul yang memuat kata sejarah: Sejarah Melayu, Sejarah Raja-Raja Riau; kata hikayat seperti pada Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Hikayat Aceh, dan Hikayat Maulana Hasanuddin; kata silsilah seperti pada Silsilah Melayu dan Bugis. Ada pula yang beragam puisi, yaitu syair, seperti Syair Singapura Dimakan Api dan Syair Himop. Dari judulnya dapat diperkirakan bahwa isinya berkaitan dengan suatu kurun waktu tertentu, peristiwa tertentu, atau tokoh tertentu di dalam sejarah. Adapun tujuan penyusunannya pada umumnya seperti yang konon dititahkan oleh Sultan Abdullah Ma’ayah Syah kepada Bendahara Paduka Raja,
Bahwa beta minta perbuatan hikayat pada Bendahara, peri peristiwa dan peraturan segala raja-raja Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faidahlah ia daripadanya.
Fakta Historis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
Mengenai pernyataan yang dikemukakan oleh penulis Hikayat Raja-Raja Pasai tentang sejarah Samudra Pasai hingga penyerangan Majapahit, harus dibandingkan dengan beberapa pembuktian lain, yaitu dengan bekas-bekas peninggalan masa tersebut, sehingga dapat dipisahkan mana yang historis dan yang bukan historis. Motif-motif yang legendaris pada mulanya ada juga yang ada faktanya yang kongkrit. Misalnya, mythe asal mulanya Kerajaan Samudra Pasai dapat menceritakan kepada kita bahwa memang ada fakta-fakta yang kongkrit, mengenai didirikannya Samudra itu. Motif mythis-legendaries itu menjadi dongeng, karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum terdapat kodifikasi sehingga semakin jauh dengan peristiwa terjadinya itu semakin timbullah segala macam dongeng yang semakin lama semakin dilebih-lebihkan oleh cerita turun-temurun, terutama untuk mendewa-dewakan raja pendiri kerajaan atau raja yang pertama sekali memeluk agama Islam itu. Keadaan itu, seperti disebutkan pada awal naskah:
Alkisah peri mengatakan cerita raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai, maka ada diceritakan oleh orang yang punya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah.
Sebagai contoh, dalam Sejarah Melayu sama sekali tidak disebutkan Malikul Mahmud yang oleh Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan sebagai anak Malikul Zahir dan cucu Malikul Saleh. Ayah Sultan Ahmad menurut Hikayat Raja-Raja Pasai adalah Malikul Mahmud, sedangkan menurut Sejarah Melayu adalah Malikul Zahir.
Untuk menilai mana antara kedua sumber itu yang mendekati kebenaran, dapat dipergunakan sumber lain yang dapat dipercaya, yaitu sebuah makam yang terindah dari peninggalan Samudra Pasai. Makam itu terbuat dari batu pualam kepunyaan seorang raja putri, menurut Snouck Hurgronje adalah Bahiyah namanya, namun menurut penelitian lain namanya Nahrasiyah. Nisannya bertulisan Arab dengan bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia berbunyi:
Ini makam seorang wanita yang bercahaya dan suci, baginda yang terhormat, yang meninggal, yang diampunkan dosanya, raja di atas segala raja…dan yang menghidmatkan agama Islam ialah Nahrasiyah anak Sultan Al Sahid Zainul Abidin, anak Sultan Ahmad, anak Sultan Muhammad anak baginda Malikul Saleh. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan ampunan Tuhan dosanya, meninggal dengan rahmat Allah pada hari Senin, empat belas bulan Zulhijjah tahun 811 hijriah Nabi saw.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hal ini geneologi Sejarah Melayu yang lebih dapat diterima. Hal itu, karena ada pembuktian makam yang mendukung geneologi tersebut.
Penutup
Hikayat Raja-Raja Pasai tidak disusun dengan tujuan menyajikan rekaman sejarah dalam arti yang modern walaupun tokoh-tokoh yang ditampilkan, peristiwa-peristiwa yang dikisahkan, dan latar tempat yang digunakan pernah ada dan terjadi. Hikayat Raja-Raja Pasai tidak dapat berfungsi sebagai sumber informasi kesejarahan yang akurat, tetapi dapat menjelaskan pandangan orang-orang Pasai dan nilai-nilai yang berlaku pada masa itu.
Pengetahuan tentang situasi kesejarahan pada waktu penyusunan sebuah karya sastra sangat membantu dalam usaha memahami makna karya itu bagi penyusunan dan khalayak pendukungnya. Hikayat Raja-Raja Pasai digubah untuk menegakkan Kerajaan Pasai melalui penggambaran sifat-sifat terpuji Sultan Malik as Saleh. Selain itu, juga menggambarkan sifat-sifat jelek penguasa selanjutnya dan akibat dari perbuatan jeleknya itu. Hal itu, dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bahwa setiap kezaliman itu akibatnya tidak baik.
Diposkan oleh Dirman Manggeng di 17:58 0 komentar
Label: Sejarah
Bireun
BAB IV
KABUPATEN BIREUEN
PADA MASA
REVOLUSI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
A. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Berita tentang proklamasi Kemerdekaan Indonesia baru diketahui oleh masyarakat Aceh pada tanggal 21 Agustus 1945. Informasi itu diperoleh melalui Ghazali Yunus dan kawan-kawannya yang bekerja di kantor berita Jepang Domei, Kantor Penerangan Jepang (Hodoko), dan kantor Atjeh Sinbun. Mereka mengetahui kejadian itu melalui siaran radio yang ada di kantornya, kemudian secara hati-hati mereka sampaikan berita itu kepada teman-teman mereka.
Pada tanggal 24 Agustus 1945 Teuku Nyak Arief menerima telegram dari dr. Adnan Kapau Gani (Wakil Residen/Fuku Chokan) dari Palembang yang isinya menyatakan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta telah mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pada 26 Agustus 1945 diperoleh pula berita kemerdekaan Indonesia dari Adinegoro dan Muhammad Syafei dari Bukit Tinggi.
Berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia disambut gembira oleh masyarakat Aceh. Mereka mengibarkan bendera merah putih, baik di depan kantor-kantor yang masih dikuasai Jepang, di depan toko-toko, maupun di rumah-rumah penduduk. Aksi spontanitas yang dilakukan oleh masyarakat Aceh tersebut mengakibatkan terjadinya beberapa insiden, karena pihak Jepang melarang pengibaran bendera merah putih. Pelarangan itu dilakukan oleh Jepang, karena sesuai dengan ketentuan intenasional, tentara Jepang yang kalah perang harus tunduk pada ketentuan-ketentuan Sekutu. Sekutu menginstruksikan bahwa tentara Jepang harus menjaga dan memelihara status quo. Artinya, Jepang tidak boleh mengadakan perubahan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia sejak 15 Agustus 1945. Dengan kata lain, Jepang harus mencegah setiap aksi pihak Indonesia yang berupaya mengambil alih kekuasaan, baik kekuasaan militer maupun sipil dari pembesar-pembesar Jepang.
Sebaliknya, Indonesia mempunyai pandangan yang berbeda dengan pendirian Jepang. Diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mengandung arti bahwa bangsa Indonesia sudah berdaulat di tanah air dan negaranya sendiri, sedangkan Jepang masih tunduk pada perintah Sekutu. Dua pandangan yang berbeda itu menimbulkan berbagai insiden antara rakyat Indonesia termasuk rakyat Aceh dengan tentara Jepang.
Pengibaran bendera merah putih secara resmi di Aceh di lakukan pada 24 Agustus 1945 di halaman kantor Teuku Nyak Arief (sekarang Kantor Wilayah Departemen Agama Aceh), dan di halaman Kantor Shu-Chokan (Gedung Juang). Kedua peristiwa bersejarah itu dipimpin langsung oleh Teuku Nyak Arief. Pengibaran bendera dilakukan oleh Hasyim Naim (mantan Kepala Polisi Aceh pertama) dan Muhammad Amin Bugeh. Selanjutnya, pada 25 Agustus 1945 bendera merah putih dikibarkan pula oleh Ali Hasjmy beserta rekan-rekannya di depan kantor Atjeh Sinbun. Setelah itu, kegiatan pengibaran bendera merah putih semakin semarak dilakukan di tempat-tempat umum di Kutaraja dan sekitarnya. Selama bulan September sampai awal Oktober 1945, pengibaran bendera merah putih telah berlangsung di kota-kota lain di seluruh Aceh seperti di Sigli, Bireun, Lhok Seumawe, Lhok Sukon, Idi, Langsa, Kuala Simpang, Kutacane, Takengon, Meulaboh, Tapaktuan.
Menurut Husin Yusuf berita proklamasi kemerdekaan pertama kali diketahui di Bireun pada 19 Agustus 1945 melalui siaran radio berbahasa Jepang. Ketika itu Husin Yusuf bekerja pada staf inteligen resmi Fojoka dengan pangkat Letnan Gyugun (Husin Yusuf kemudian terkenal sebagai Panglima TNI Divisi X sekitar tahun 1947-1949 dengan pangkat Kolonel TNI/AD). Berita tersebut kemudian disiarkan secara diam-diam kepada perwira Gyugun lainnya, seperti Agus Husein dan pemuka-pemuka masyarakat di Bireun. Kesulitan alat komunikasi, transportasi, dan militer Jepang masih berkuasa, berita proklamasi terlambat diketahui di tempat lain.
Di daerah Aceh Utara, pengibaran bendera merah putih juga dilakukan, di Lhok Sukon pada 29 Agustus 1945, Letnan Gyugun Hasbi Wahidi menerima berita proklamasi melalui utusan Gubernur Sumatera ke Aceh. Pada siang harinya, para pemimpin, tokoh, dan masyarakat mengadakan pertemuan yang dipimpin oleh Letnan Gyugun Hasbi Wahidi. Pada sore harinya upacara pengibaran bendera merah putih dilaksanakan di lapangan bola kaki Lhok Sukon. Di Lhok Seumawe upacara pengibaran bendera merah putih dilaksanakan pada bulan September 1945 bertempat di lapangan bola kaki Lhok Seumawe. Upara pengibaran bendera itu dipimpin oleh Teuku Ibrahim Panglima Agung Cunda, turut pada acara itu adalah Hasan Sab dan Guncho Lhok Seumawe Teuku Abdul Latif.
Pada tanggal 3 Oktober 1945, residen Aceh menerima instruksi dari gubernur Sumatera tentang pengibaran bendera merah putih, maka mulai pukul 06.00 pagi, bendera merah putih berkibar di rumah-rumah penduduk di seluruh Aceh. Demikian juga di kantor-kantor pemerintah dan sekolah-sekolah mengibarkan bendera kebangsaan itu walaupun dilarang oleh Jepang. Menindaklanjuti instruksi tersebut, pada 13 Oktober 1945 Ketua Pusat Komite Nasional Daerah Aceh, Tuanku Mahmud mengeluarkan Maklumat No. 2 berisi pengumuman kepada penduduk supaya mengibarkan bendera merah putih di setiap rumah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dikibarkan mulai tanggal 13 Oktober sampai tanggal 17 Oktober 1945,
b. Bendera dikibarkan mulai pukul 7 pagi hingga pukul 18.00, dan
c. Jika hari hujan, bendera tidak usah dikibarkan.
B. Pembentukan Pemerintahan Daerah
Sebelum berita proklamasi kemerdekaan sampai ke Aceh, rakyat di daerah ini hanya mengetahui bahwa dari pulau Sumatera terdapat wakil yang ditunjuk untuk mewakili Sumatera sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu Mr. Teuku Muhammad Hasan, Dr. Amir, dan Mr. Abbas. Pada 7 Agustus 1945 mereka berangkat ke Jakarta melalui Singapura untuk menunggu kembalinya Bung Karno dari Saigon. Dari Singapura 14 Agustus 1945 mereka bersama Bung Karno berangkat ke Jakarta.
Mr. Teuku Muhammad Hasan bersama kedua rekannya kembali ke Sumatera melalui Palembang pada 24 Agustus 1945. Di Palembang, Mr. Muhammad Hasan yang telah diangkat menjadi Wakil Pemimpin Besar untuk Sumatera sejak 22 Agustus 1945 meminta kepada DR. A. K. Gani untuk membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatera Selatan dan menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan ke daerah-daerah. Dari Palembang, ketiga tokoh itu meneruskan perjalanan menuju Medan dan singgah di beberapa tempat, seperti Jambi, Bukittinggi, Tarutung, dan sampai di Medan pada 29 Agustus 1945. Di kota-kota yang disinggahi tersebut, Teuku Muhammad Hasan menganjurkan hal yang sama seperti di Sumatera Selatan.
Setelah menerima kawat dari dr. Adnan Kapau Gani dan Muhammad Syafei, Teuku Nyak Arief pada 28 Agustus 1945 mengambil inisiatif membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Aceh. Ketua lembaga itu ditetapkan Teuku Nyak Arief, yang semula memangku jabatan Ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh) bentukan Jepang, sedangkan wakil ketua dipilih Tuanku Mahmud.
Pada 6 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh menerima kawat dari Ketua Barisan Pemuda Indonesia Bireun yang menyatakan bahwa telah berdiri dan melakukan rapat umum Barisan Pemuda Indonesia Bireun. Organisasi itu terdiri atas gabungan delapan perkumpulan pemuda di Bireun yang diketuai oleh Agus dan menyatakan siap sedia berkorban dibawah pimpinan Presiden Sukarno.
Selain itu, atas anjuran Komite Nasional di wilayah Aceh Utara, semua saudagar di Lhok Sukon sepakat membentuk sebuah perkumpulan bernama Perserikatan Saudagar Indonesia (Persi) pada 2 Desember 1945. Tujuannya adalah menyokong negara Republik Indonesia serta membina persatuan dan mengukuhkan hubungan silaturrahmi di kalangan mereka. Seluruh anggota Persi juga mengangkat sumpah membela negara Republik Indonesia.
Komite Nasional Daerah Aceh pada 20 Desember 1945 mengadakan musyawarah di Banda Aceh. Membubarkan susunan pengurusnya yang lama dan menyerahkan kepada suatu komisi yang bekerja sama dengan residen untuk membentuk pengurus baru. Pada 25 Desember 1945 Komite Nasional Daerah Aceh menyusun kepengurusan baru yang terdiri atas 72 anggota dari seluruh Aceh. Mr. S. M. Amin diangkat menjadi Ketua, Hasyim sebagai Ketua Muda, Muchtar sebagai Setia Usaha I, Kamaroesid sebagai Setia Usaha II, dengan pembantu-pembantunya R. Insoen, Hanafiah, dan H. M. Zainuddin. Selain itu, Komite Nasional Daerah Aceh dalam rapatnya memilih sepuluh orang wakil daerah yang duduk dalam Komite Nasional Pusat Sumatera. Mereka terdiri atas Sutikno Padmo Sumarto, Amelz, Teungku Ismail Jakub, Teungku Abdul Wahab (wakil Luhak Aceh Besar), Affan Daulay (wakil Luhak Pidie), M.I. Daud (wakil Luhak Aceh Utara), Karim M. Duryat (wakil Luhak Aceh Timur), H. Mustafa Salim (Wakil Luhak Aceh Tengah). A. Mu'thi, dan M. Abduh Syam (wakil Luhak Aceh Barat).
Gubernur Sumatera pada 28 Desember 1945 mengeluarkan maklumat No.70 yang membagi Keresidenan Aceh menjadi tujuh luhak. Dalam maklumat tersebut ditetapkan sebagai berikut;
1. Luhak Aceh Besar terdiri atas wilayah Banda Aceh, Seulimeum, dan Sabang,
2. Luhak Pidie terdiri atas wilayah Sigli, Lammeulo, dan Meureudu,
3. Luhak Aceh Utara terdiri ataswilayah Bireuen, Lhok Seumawe, dan Lhoksukon,
4. Luhak Aceh Timur terdiri atas wilayah Idi, Langsa, dan Kuala Simpang,
5. Luhak Aceh Tengah, terdiri atas wilayah Takengon, Blangkejeren, dan Kutacane,
6. Luhak Aceh Barat terdiri atas wilayah Calang, Meulaboh, dan Simeulue, dan
7. Luhak Aceh Selatan terdiri atas wilayah Tapak Tuan, Bakongan, dan Singkil.
Pada tanggal yang sama Gubernur Sumatera dengan Surat Ketetapan No. 71 mengangkat kepala-kepala wilayah seluruh Aceh, yaitu T. M. Ali Teunom (kepala wilayah Banda Aceh), T.M. Taib (Seulimeum), Sigli (T. Sabi), T. M. Daud (Lammeulo), T. Mahmud (Meureudu), Raja M. Zainuddin (Takengon), T. Raja Husin (Blangkejeren), Raja Maribun (Kutacane), T. M. Basyah (Lhok Seumawe), T. Idris (Bireuen), T. Cut Raja Pait (Lhok Sukon), T.Ali Basya Langsa (Langsa), T. Ali Basyah Lhok Sukon (Idi), T. Raja Sulung (Kuala Simpang), T. M. Aji (Meulaboh), T. Raja Mahmud (Sinabang), T. Adiyan (Calang), T. M. Taib Wood (Tapak Tuan), T. Johan (Bakongan), dan T. Itam (Singkil). Mereka diberi gaji Rp300 per bulan, kecuali kepala wilayah kelas I Meureudu dan Lhok Seumawe digaji Rp400 per bulan. Pembantu Kepala Wilayah yang diperbantukan pada Kepala Wilayah Meulaboh, T. Hasan Bakongan, diberikan gaji Rp150 rupiah per bulan.
Pada 17 Januari 1946, bertepatan dengan peringatan enam bulan berdiri Negara Republik Indonesia, di Bireun dilakukan rapat umum dan pawai akbar. Rapat umum yang dihadiri puluhan ribu orang itu mengeluarkan mosi sebagai berikut:
1. Berdiri teguh di belakang presiden dan siap mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia,
2. Menolak sesuatu pemerintahan yang berbau dominion status, selfgovernment, dan nama lain yang boleh diterima adalah merdeka 100 %,
3. Mempercayai sepenuhnya Kabinet Syahrir, tetapi tidak mengizinkan berembuk lebih jauh dengan pemerintah Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia 100 % diakui pemerintahnya dengan tidak ada tawar-menawar,
4. Rakyat wilayah ini yang berjumlah 145.000 jiwa siap sedia dari segala gerakan dan bersatu padu untuk menyokong pemerintah pada tiap kemungkinan dengan jiwa dan raganya,
5. Jangan dibolehkan lagi tentara Inggris maupun Belanda masuk ke Indonesia sebelum diakui kemerdekaan Negara Republik Indonesia,
6. Disanggah sekeras-kerasnya tindakan-tindakan tentara Inggris yang menggencet gerakan rakyat Negara Republik Indonesia, dan
7. Didengung-dengungkan ke luar negeri segala tindakan-tindakan onar yang dilakukan Inggris di Indonesia.
Dalam rangka melengkapi pelaksana-pelaksana dalam pemerintahan selanjutnya, pada 21 Februari 1946 Pemerintah Keresidenan Aceh mengumumkan pegawai-pegawai tinggi sebagai berikut:
1. Asisten Residen d/p Residen Aceh T. M. Amin,
2. Pegawai Tinggi d/p Residen Aceh Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dengan pangkat Asisten Residen,
3. Pegawai Tinggi d/p Residen Aceh Nya' Mansoer dengan pangkat Konteler,
4. Pegawai Tinggi d/p Residen Aceh Said Abu Bakar dengan pangkat Konteler,
5. Aspiran Konteler d/p Kepala Wilayah Lhok Seumawe, T. Ali Basyah,
6. Aspiran Konteler d/p Kepala Wilayah Bireuen, Marzuki, dan
7. Aspiran Konteler d/p Kepala Wilayah Lhok Sukon, H. Harun.
Dalam rapat pleno KNI yang berlangsung pada 5 Juni 1946 di Banda Aceh, Komite Nasional Daerah Aceh dibubarkan dan selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Rapat yang dipimpin oleh T. Mohd. Daudsyah tersebut juga mendengar uraian dan penjelasan anggota Dewan Perwakilan Sumatera wakil Aceh, yaitu Amelz dan Sutikno Padmosumarto yang baru kembali dari menghadiri Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera di Bukittinggi. Dengan uraian tersebut dan petunjuk-petunjuk dari anggota rombongan Pemerintah Pusat yang meninjau Aceh, maka semakin jelas pengertian mengenai kedudukan dan tugas-tugas Komite Nasional atau Dewan Perwakilan Rakyat di daerah. Lembaga baru ini (DPR Aceh) terdiri atas lima belas anggota, yaitu dua puluh orang Ketua Cabang Komite Nasional, tujuh orang Bupati, tujuh belas orang wakil partai/perkumpulan, dan 31 orang terkemuka dan cendikiawan. Anggota-anggota tersebut yang mewakili Aceh Utara di antaranya: Muhammad Saridin (Lhok Seumawe), M. Kasim Arsyad (Lhok Sukon), Tgk. Sulaiman Daud (Bupati Aceh Utara), dan A. Gani (Bireuen).
Untuk kesempurnaan jalannya pemerintahan di keresidenan Aceh, gubernur Sumatera melakukan mutasi besar-besaran di kalangan pamongpraja dan kepala-kepala jawatan dengan Ketetapan No.204 tertanggal 11 Agustus 1946 diberhentikan dari pekerjaannya sehingga yang bersangkutan tidak memangku lagi jabatannya sebanyak 33 orang di seluruh Aceh. Dari Aceh Utara, yaitu T. M. Basyah (kepala Wilayah I Lhok Seumawe), T. Idris (Kepala Wilayah Bireuen), dan H. Harun (Kepala Wilayah Lhok Sukon). Mereka digantikan oleh Teungku Abdul Wahab Beureugang menjadi Wedana Lhok Seumawe, Tgk. M. Nur menjadi Wedana Bireuen, dan Teungku Muhammad Usman Aziz sebagai Wedana Lhok Sukon.
C. Merebut Senjata Tentara Jepang
Jepang masih menguasai semua persenjataan meskipun sudah kalah berperang melawan Sekutu. Hal itu disebabkan tentara pendudukan Jepang mendapatkan tugas dari Sekutu untuk memelihara status quo. Pemerintah Jepang tidak boleh menyerahkan kekuasaannnya dan persenjataan kepada Indonesia. Semua persenjataan itu nantinya harus diserahkan kepada tentara Sekutu.
Di lain pihak, senjata-senjata Jepang itu sangat diperlukan oleh laskar-laskar atau badan-badan perjuangan rakyat Aceh untuk menghadapi tentara NICA yang sudah mulai melakukan aksinya di berbagai daerah di di Indonesia.
Pada mulanya pemimpin lasykar rakyat Aceh ingin menempuh secara damai dengan Jepang agar senjatanya diserahkan kepada pejuang-pejuang Aceh. Upaya itu dilakukan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Janji Jepang untuk menyerahkan persenjataannya kepada pejuang Aceh tidak pernah dipenuhi, maka pemimpina perjuangan rakyat Aceh terpaksa harus menempuh dengan cara kekerasan untuk memperoleh persenjataan dari Jepang. Cara yang demikian menimbulkan bebagai insiden bersenjata yang berakibat jatuhnya korban pada kedua belah pihak, akhirnya Jepang terpaksa menyerahkan senjata-senjatanya kepada pejuang Aceh.
Dengan cara yang demikian Tentara Keamanan Rakyat bersama barisan rakyat berhasil memperoleh senjata dari Jepang. Di Sigli (Pidie) pada akhir November 1945, sebanyak 200 pucuk senjata, di Aceh Utara, yaitu di Bireun dan Lhok Seumawe pada 18 November 1945, masing-masing mendapatkan senjata sebanyak 320 dan 300 pucuk, di Juli pada 20 November 1945 memperoleh enam tank, tiga meriam pantai, tiga senapan mesin, dua truk, 72 karabin, dan tujuh gudang amunisi. Di Gelanggang Labu pada 22 November memperoleh sebanyak 620 pucuk senjata, di Krueng Panjo pada 24 November 1945 terjadi pertempuran sengit selama tiga hari dan berakhir dengan penyerahan 300 pucuk senjata oleh Jepang kepada pejuang Aceh. Di Aceh Timur, terutama di Idi dan Langsa pada 9 dan 13 Desember 1945 memperoleh senjata masing-masing sebanyak 220 dan 300 pucuk. Demikian juga di daerah-daerah lain, seperti Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara.
Resimen tentara Jepang yang bermarkas di Bireun, menempatkan batalyon-batalyonnya di Samalanga, Lhok Seumawe, dan Lhok Sukon. Selain itu, Jepang menempatkan sebuah resimen tentara yang disebut Suzuki Rensei-Tai dan dua detasemen khusus menjaga lapangan terbang militer darurat di Gelanggang Labu, dekat Matang Geulumpang Dua sekitar 12 km dari kota Bireuen. Sejumlah senjata berat dipusatkan di kota Bireuen. Pasukan itu juga bertugas menjaga dan mengamankan gudang-gudang senjata serta logistik di Desa Juli sekitar 5 km dari Kota Bireuen. Di desa itu Jepang menyimpan alat perlengkapan perang dan gudang amunisi bagi satu resimen tentara Jepang. Dari tempat itu disuplai logistik militer ke Krueng Ulim Samalanga hingga Geudong di Lhok Seumawe.
Usaha mendapatkan senjata Jepang di Bireuen dimulai sejak Oktober 1945, namun belum berhasil. Perundingan antara pihak API yang dibantu oleh mantan Guncho (wedana) Bireuen, T. Idris Panteraja dengan Jepang sudah dilakukan beberapa kali. Akan tetapi, selalu gagal karena pihak Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya secara sukarela. Karena tidak menemukan kesepakatan, pemimpin API Bireun meminta T. Hamid Azwar (Kepala Staf API) untuk datang ke Bireun. Wakil Markas Daerah III API (Resimen III) Bireuen adalah T. M. Daud Samalanga dan wakilnya T. Hamzah. Pada pertemuan antara API dengan mantan guncho Bireun diputuskan merubah taktik menghadapi Jepang, yaitu dengan cara intimidasi dan mengerahkan rakyat sebanyak mungkin. WMD III beserta para perwiranya, seperti T. Hamzah, Agus Husin, Nyak Do, Yusuf Ahmad, T. A, Hamdani, Muhammad Amin, Abdul Hamid TOB, A. Rachman Achmady (Bahady), dan para pemuka rakyat, seperti Naam Rasmadin, H. Affan, Marzuki Abu Bakar, Syamsuddin bin Gempa melakukan tekanan terhadap garnisun Jepang di Bireun.
Pada hari pengerahan massa, sejak subuh sudah beribu-ribu rakyat Bireun mengepung tangsi Jepang. Pemimpin WMD III API bersama mantan guncho Bireun akhirnya dapat meyakinkan Jepang bahwa satu-satunya cara terbaik bagi Jepang adalah menyerahkan seluruh senjatanya kepada rakyat Bireuen. Akhirya pada 18 November 1945 Jepang terpaksa menyerahkan seluruh senjata berikut dengan perlengkapannya kepada rakyat Bireun. Penyerahan dilakukan dengan cara serah terima dan penandatanganan naskah oleh masing-masing pihak dan sekaligus dilaksanakan penggantian pengawalan. Penyerahan satu resimen tentara Jepang Suzuki Rensei-Tai kepada Wakil Markas Daerah API/TKR, Mayor Teuku M. Daud Samalanga di Bireuen dilakukan dengan upacara militer. Mayor Teuku Hamid Azwar sebagai Kepala Staf TKR Divisi V Komandemen Sumatera khusus datang dari Kutaraja ke Bireun untuk menyaksikan penyerahan senjata Jepang tersebut.
Penyerahan senjata itu yang mewakili dari pihak Jepang bukan komandannya (Hutaicho) tetapi wakilnya yang berpangkat shosa (mayor), sedangkan yang menerima dari pihak masyarakat Bireun adalah T. M. Daud Samalanga beserta staf WMD III API dan disaksikan juga oleh T. Idris Panteraja (mantan guncho Bireuen) dan Keucik Juli. Penyerahan senjata Jepang kepada API/TKR tanpa terjadi korban pada kedua belah pihak. Pemimpin API (Angkatan Perang Indonesia) wilayah Bireun yang diwakili oleh T. Hamzah menerima 320 pucuk senjata dari Daitaityo Ibi Hara Bireuen dan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat antara lain H. Affan, H. Abu Bakar, dan Naam Rosmadin.
Pada 20 November 1945 di Juli dan Geulanggang Labu terjadi pertempuran antara penduduk dengan tentara Jepang. Pertempuran berlangsung selama tiga hari dan berhenti setelah dilakukan pendekatan antara kedua pihak. Juli, pada masa pendudukan Jepang dijadikan basis tempat penyimpanan persenjataan perang untuk pertahanan kawasan sepanjang Krueng Ulim, Samalanga hingga Geudong. Ketika peristiwa itu terjadi, tentara Jepang yang selama ini sangat bangga dengan kemampuannya berperang, merasa terpukul atas penyerbuan tersebut. Mereka lalu menyerahkan enam kenderaan tank, tiga pucuk meriam pantai, tiga pucuk senapan mesin Juki, dua buah truk, 72 pucuk karaben, dan tujuh gudang amunisi.
Perlucutan senjata Jepang di Desa Juli sempat diwarnai bentrokan senjata. Jepang menolak menyerahkan senjata ke API dalam perundingan antara pemimpin pejuang Aceh dengan Nakakubu, pemimpin tentara Jepang. Pada saat perundingan, rakyat sudah mengepung markas persenjataan Jepang. Gerakan perluculan senjata Jepang di Juli dipimpin oleh Keucik Ibrahim dengan Komandan Pasukan Letnan Thaib Bulan dan Jusuf Ahmad, dimulai pada 20 November 1945. Penolakan Jepang untuk menyerahkan senjata membuat rakyat marah. Pasukan API/TKR yang didukung oleh Barisan Rakyat di bawah pemimpin Utoh Husin dan A. R. Mahmudi melakukan penyerbuan ke asrama Angkatan Udara Jepang di Gelanggang Labu sekitar 18 km dari Bireun pada 22 November 1945. Setelah pertempuran berlangsung sekitar tiga jam, Komandan Pangkalan Udara Jepang di Geulanggang Labu mengajak untuk berunding lagi. Hasil perundingan tersebut, Jepang meyerahkan enam puluh pucuk senjata. Penyerahan senjata sebanyak itu belum memuaskan pihak pejuang Aceh sehingga suasana pun belum kondusif. Para pejuang Aceh belum mau meninggalkan pangkalan udara Jepang, sehingga pihak Jepang sangat cemas. Keesokan harinya pasukan angkatan udara Jepang meninggalkan pangkalan dan mengungsi ke Lhok Seumawe.
Perlucutan senjata di Bireuen menyebabkan Garnisun Jepang di Lhok Seumawe segera bereaksi. Pada 24 November 1945 tiga kompi pasukan didatangkan dengan menggunakan 9 dressi dan tiga gerobak kereta api bergerak menuju Bireun dengan maksud menguasai kembali Bireun dan mengambil kembali senjata yang telah diambil oleh API. Dua hari sebelum pengerahan pasukan sudah terlihat kesibukan Jepang mempersiapkan pasukan sambil meminta disediakan kereta api untuk mengangkut pasukan ke Bireuen. Suasana itu dilaporkan ke Markas Daerah API di Kutaraja. Syamaun Gaharu ditugasi mengkoordinir daerah Aceh Utara. API Bireun dikerahkan untuk menghadang Jepang di tempat yang strategis sambil menunggu bantuan dari Kutaraja dan dari daerah lain. API Bireuen memilih Matang Geulumpang Dua sebagai pos komando dan Krueng Panjo sebagai tempat penghadangan.
Dipilihnya Krueng panjo sebagai tempat menghadang tentara Jepang karena dari segi lokasi sangat menguntungkan untuk mengadakan pengepungan. Daerah Krueng Panjo dilintasi oleh jalur kereta api, diperkirakan tentara Jepang akan mempergunakan transportasi kereta api menuju Bireuen. Krueng Panjo berada di daerah persawahan dan terdapat semacam tanggul besar yang digunakan untuk areal persawahan.
Tentara Jepang yang bergerak menuju Bireuen terdiri atas Batalyon satu Resimen III Infantri di bawah komando Mayor Suzuki. Batalyon itu sejak awal ditempatkan di Lhok Seumawe, tetapi satu kompi di antaranya dipulangkan ke Medan dan digantikan dengan kompi lain dari Lhok Sukon. Kesatuan kedua adalah batalyon yang dipimpin oleh Mayor Suzuki berasal dari bekas batalyon pengawal lapangan terbang Blang Pulo dengan komandan Mayor Metsugi. Gabungan kedua batalyon itu disebut Suzuki Butai karena dipimpin oleh Mayor Suzuki. Starategi yang telah disusun oleh Teuku Hamid Azwar dikomunikasikan kepada Komandan Operasi Teuku Hamzah, menginstruksikan agar rel kereta api di Pante Gajah dekat Krueng Panjo yang jaraknya sekitar 3 km sebelum masuk stasiun kereta api Matang Geulumpang Dua, dibongkar agar kereta api tidak dapat lewat. Demikian juga keesokan harinya, jika kerteta api telah melewati daerah sasaran, pasukan API/TKR harus segera membongkar rel kereta api di bagian belakang sehingga kereta api tidak dapat mundur dan kereta api terkurung di tengah.
Di Bireuen, sebuah Komando Operasi segera dibentuk dengan Komandan Operasi Kapten Teuku Hamzah. Dilengkapi dengan empat kompi pasukan API/TKR; Kompi 1 dipimpin Letnan Agus Husin, Kompi II dipimpin oleh Letnan T. A. Hamdani, Kompi III dipimpin oleh Letnan Nyak Do, dan Kompi IV dipimpin oleh Letnan Yusuf Ahmad.
Pasukan Rakyat yang dipersiapkan di antaranya:
1. Barisan Rakyat Kampung Juli dipimpin Keucik Ibrahim,
2. Barisan Rakyat Gelanggaag Labu dipimpin oleh Utoh Husin/AR Mahmudi,
3. Barisan Rakyat Samalanga dipimpin oleh Teungku Sjahbuddin,
4. Barisan Rakyat Jeunib dipimpin oleh M. Ali,
5. Barisan Rakyat Geurugok dipimpin oleh Teuku Zamzam,
6. Barisan Rakyat Peusangan dipimpin oleh Saleh Alamsyah,
7. Barisan Rakyat Krueng Panjo dipimpina oleh Teungku Abdurahman,
8. Barisan Rakyat Bireuen dipimpin oleh Na'am Rasmadin, H. Affan, dan H. Marzuki Abu Bakar,
9. Barisan Rakyat Lhok Seumawe dipimpin oleh T. A. Bakar,
10. Barisau TPI (Tentara Pelajar Islam) Batalyon III Aceh Utara dipimpin oleh Nur Nekmat, M. Sabi, dan Hasry, dan
11. Barisan Rakyat Takengon dipimpin oleh Teungku Muhammad Saleh Adry dan Letnan Dua Ibnu Hajar.
Sehari sebelum pertempuran semua pemimpin pasukan API/TKR dan Laskar Pejuang, seperti Divisi Tgk. Chik Di Tiro (Mujahaidin), Divisi Rencong, Divisi Tgk. Chik Paya Bakong, Batalyon Berani Mati, Komando Resimen Tentara Pelajar Islam, dan Pasukan Barisan Pemuda Bersenjata dikumpulkan di Wakil Markas Daerah III API/TKR Bireuen dipimpin oleh Kapten Teuku Hamzah.
Diinstruksikan bahwa setiap pasukan besoknya pukul 10.00 pagi sudah berada di pos lengkap dengan senjata. Setiap pasukan bertanggung jawab atas tugas-tugas yang telah diinstruksikan. Kontak dengan Lhok Seumawe terus dilakukan untuk memantau apakah kereta api yang membawa pasukan Jepang sudah mulai berangkat. Pukul 12.30 siang, 24 November 1945, kereta api yang membawa satu batalyon tentara Jepang meluncur menuju Bireuen. Masinisnya orang Indonesia segera melompat meninggalkan kereta api setelah melihat kereta api yang ditumpanginya menjadi sasaran tembak pejuang Aceh di Kampung Pante Gajah. Serdadu Jepang segera melepaskan tembakan ke arah masinis yang berusaha kabur itu, tetapi tidak mengenai sasaran karena setiba di tanah, masinis segera berlindung di dalam parit.
Masinis digantikan oleh seorang Jepang yang berusaha menghentikan kereta api tetapi rel di belakang kereta api itu sudah dibongkar sehingga kereta api tidak dapat maju dan mundur. Sejalan dengan pembongkaran rel di belakang kereta api itu muncul pula tembakan-tembakan ke arah kereta api dari segala arah. Serdadu Jepang berlarian dan mencari perlindungan di pematang-pematang sawah. Dua kompi API dari Kutaraja yang dipimpin oleh T. Humid Azwar tiba di tempat kejadian dan langsung megambil alih kendali. Sebelumnya penyerangan dipimpin oleh T. Hamzah Samalanga.
Bersamaan dengan kedatangan Kepala Staf API, T. Hamid Azwar, dibawa serta Muramoto dari Sigli, ia diperlukan untuk menjadi juru bahasa merangkap penghubung alias juru damai. Setelah mendapat hubungan dengan komandan Jepang (Ibihara-tai), maka diadakan perundingan untuk membicarakan tuntutan rakyat. Jepang diminta agar menyerahkan senjata, sebagai imbalannya keselamatan mereka dijamin. Ibihara-tai sendiri sebenaraya sudah menyetujui tuntutan tersebut, tetapi beberapa orang komandan bawahannya menentang, sehingga menimbulkan percekcokan di antara mereka.
Keesokan harinya, 26 November 1945, Jepang mengibarkan bendera putih, pertanda menyerah. Pada peristiwa tersebut banyak jatuh korban di kedua belah pihak. Komandan pasukan Jepang melakukan harakiri dengan pedang samurai. Sebanyak 320 pucuk senjata diserahkan kepada API beserta dengan perlengkapan-perlengkapan lain. Pertempuran di Krueng Panjo dinilai sebagai pertempuran bersejarah, karena telah membangkitkan kepercayaan diri yang besar di kalangan pejuang Aceh karena mampu memaksa tentara Jepang mengangkat bendera putih sebagai tanda menyerah.
Tentara Jepang kemudian menyerbu ke wilayah Aceh Timur, pihak TKR mendatangkan pasukan tambahan dari Kutaraja, Bireuen, Takengon, Lhok Seumawe, dan Lhok Sukon, sedangkan pasukan TKR dan laskar rakyat yang berada di bagian timur, seperti dari Idi dipusatkan di sekitar kota Langsa. Tujuan utama Jepang adalah menguasai kembali Kuala Simpang dan Langsa. Terjadilah pertempuran besar-besaran di sekitar kedua tempat tersebut, seperti Kampung Durian dan Kampung Tupak pada 24 Desember 1945, Kampung Upak dan Bukit Meutuah pada 25 Desember 1945. Setelah pertempuran berlangsung sekitar satu bulan, maka pada 20 Januari 1946, TKR bersama dengan laskar rakyat berhasil mendesak tentara Jepang kembali ke Medan. Dengan demikian, daerah Aceh berhasil dibersihkan dari tentara Jepang dan kekalahannya itu merupakan pukulan berat tidak saja bagi Jepang tetapi juga bagi Sekutu.
|^_^| :)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( x( =))